SERAH JAJAH


“Serah Jajah Dan Perlawanan Yang Tersisa: Etnografi Orang Rimba Di Jambi”
           
Orang Rimba (OR) sebagai suku bangsa minoritas seringkali menjadi korban desriminatif masyarakat luas yang ada di Jambi. Mereka mengenal Orang Rimba identik dengan kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dll. Mereka tersingkir dari hutannya oleh proses industri yang kadang di dukung oleh negara dengan alasan ingin memajukan dan memodernkan mereka. Lingkungan alam di Jambi berubah derastis setelah adanya program pembukaan hutan untuk lahan produksi, pemukiman, transmigrasi, pengembangan pertanian, perkebunan, dan proyek peningkatan infrastruktur tahun 1970. Dampak dari kegiatan tersebut adalah kebakaran hutan, penurunan kualitas di dataran rendah Jambi, serta mengubah fungsi hutan primer ke kawasan perkebunan dan pemukiman secara cepat.
            Orang Rimba merasakan dampak yang luar biasa dari kerusakan hutan. Secara perlahan mereka kehilangan mara pencaharian. Mereka terusir dari tanahnya dan terpaksa menyesuaikan diri dengan lingkungan alam yang baru. Orang Rimba mengalami dominasi Orang Melayu (suku mayoritas). Orang-orang Melayu memperkerjakan Orang Rimba untuk mencari sumber daya hutan dan menyadap getah karet. Aturan ini didasarkan prinsip “serah naik, jajah turun”, artinya Orang Rimba harus memberi upeti kepada waris dan jenang dalam mengurus Orang Rimba. Ketika Orang Rimba menyerahkan jajah, seorang jenang wajib membayar serah kepada Orang Rimba. Namun, seiring berjalannya waktu peran waris dan jenag semakin lemah.
            Dominasi Orang Melayu terhadap Orang Rimba memunculkan masalah. Kebanyakan kasus yang dihadai adalah penyerobotan tanah dan penebangan pohon-pohon tanpa seizing Orang Rimba. Permasalahan mendasar adalah banyaknya lahan pertanian yang ada di dalam Taman Nasional. Keberadaan lahan tersebut menyebabkan upaya pengelolaan kawasan akan selalu bersinggungan dengan kepentingan masyaarakat desa. Masalah lahan diperumit dengan tingkat perekonomian masyarakat desa, karena hasil hutan non kayu (rotan, getah, balam) mulai sulit diperoleh, bahkan jernang sudah tidak ditemukan lagi.
            Mereka kemnali ke karet alam yang tua dan sulit berproduksi sehingga membuat masyarakat desa mencari pilihan lain (pembalakan liar). Ironisnya, Orang Rimba Air Panas terlibat dalam hal itu. Mereka menganggap pohon di hutan adalah milik mereka, daripada kayunya diambil tanpa izin lebih baik mereka menjualnya kepada toke kayu.  Menurut Tarib (Orang Rimba Air hitam) bekerja pada pembalakan kayu sama saja dengan merusak hutan dan akan merusak tatanan alam, sehingga sama saja dengan menjual rumah mereka. Strategi Warsi melalui Orang Rimba dalam berjuang mempertahankan hutan adalah dengan gencar memberitakan tentang Orang Rimba, warsi mengajak Tarib dan kelompoknya ke kota untuk memperjuangkan hutan mereka. Tarib juga mendapat penganugerahan Kehati Awards dan berjabat tangan secara langsung dengan presiden Megawati karena dianggap sebagai Orang rimba yang memperhatikan hutan.
            Bagi Orang Melayu Air Hitam, Ngubu berarti hidup menderita di dalam hutan untuk mencari hasil hutan. Ngubu juga berarti melarikan diri kedalam hutan karena permasalahan hidup yang membelit. Dalam perjalanannya, kata “kubu” mempunyai makna negative yang berarti bodoh, bakhil, atau bego. Menurut Departemen Sosial (Depsos), kata “kubu” dianggap tidak manusiawi karena mencerminkan sesuatu yang buruk dan tidak pantas. Depsos mengenalkan istilah baru untuk menggantikan istilah “kubu”, yaitu suku Anak Dalam. Sayangnya, istilah itu lebih menunjuk kepada kelompok suku bangsa minoritas di jambi. Orang Rimba dianggap Depsos rentan terhadap berbagai masalah social dan kebudayaan , mereka juga dianggap tidak lagi sesuai dengan masanya karena terisolir.
            Untuk mengatasi semua masalah tersebut, pemerintah menganggap sudah selayaknya Orang Rimba dibina dan diarahkan agar hidup layak seperti masyarakat lain. Salh satu program pemerintah adalah pemukiman menetap melalui PKMT. Dalam PKMT di Jambi, kebudayaan melayu merupakan kebudayaan dominan yang menjadi acuan bagi pemerintah untuk Orang Rimba di Air Hitam yang mengikuti program ini. Bagi mereka yang mau hidup menetap, pemerintah akan memberikan rumah, kebun sawit, dan kebutuhan satu tahun. Orang Rimba Air Panas mulai hidup menetap dan memilih masuk Islam, karena bagi Orang RimbaAir Panas Islam merupakan agama yang menuju kebaikan, agama yang akan menebus dosa atas semua perbuatan yang dilakukan dimasa lampau. Toha dan kerabatnya memutuskan untuk tinggal menetap karena dia ingin bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Mereka juga selalu berupaya terlibat dan menyesuaikan diri dengan masyarakat desa dalam kehidupan sehari-hari.
            Pola hubungan Orang Melayu dan Orang Rimba yang bersifat dominan-minoritas mampu memberikan dasar tatanan nilai dan aturan acuan bagi masing-masing suku bangsa. Dalam menyikapi dominasi tersebut, Orang Rimba mensiasatinya dengan mengaktifkan kedudukan mereka dalam tatanan struktur masyarakat umum yang ada di Air Hitam. Selain itu, ada dua tanggapan yang ditunjukkan Orang Rimba dalam menanggapi perlakuan dominasi masyarakat Melayu, yaitu pilihan untuk mengasismilasikan diri menjadi seperti golongan dominan seperti yang dilakukan Orang Rimba Air panas dan mencoba melakukan pemisahan diri dari masyarakat luar seperti yang dilakukan oleh kelompok Tarib dan kelompok Nyai.
            Keberadaan Orang Rimba saat ini tidak terlepas dari peran orang luar yang selalu merongrong mereka, sehingga mereka membuat garis pertahanan dan strategi sendiri agar mampu menghalau dan menahan arus perubahan dari luar. Pencurian dan penelusuran mereka atas pelaku baru dan pembangunan aliansi-aliansi kekuatan baru di dunia luar merupakan salah satu strategi mereka untuk dapat bertahan dalam jati diri kekubuan. Gejala ini menunjukkan bahwa Orang Rimba tidaklah sebodoh dan terasing seperti yang dibayangkan orang lain. Untuk itu, sudah menjadi kewajiban negara melindungi warganya, bukan malah berusaha menghilangkannya.
KESIMPULAN:
  • Setelah hutan ditebang dan digannti dengan perkebunan sawit, Orang Rimba kehilangan hutan sehingga karakter cenderung berkurang, jati diri mereka sebagai Oeang Rimba juga berkurang, dan Orang Rimba menjadi tercerai berai. Ada yang beradaptasi dengan Orang Melayu dan tinggal di kampung, dan ada Orang Rimba yang mempertahankan diri mereka sebagai Orang Rimba.
  • Warsi hanya memanfaatkan Orang Rimba, karena kalau hutannya hilang maka Warsi akan kehilangan pekerjaan. Butet memandang Warsi hanya memanfaatkan Orang Rimba, tidak sungguh-sungguh membantu Orang Rimba, mereka hanya menginginkan uang dan pemerintah melalui program-program yang mereka ajukan demi mempertebal kantong mereka masing-masing. Sedangkan Adi Prasetyo memandang Warsi dari aturan atau idealnya yang akan dicapai.
  • Orang Rimba berpikir apapun yang ada disekitarnya itu adalah  milik mereka bersama, sehingga pada saat Orang Rimba hidup di kampung ada ayam yang berkeliaran di tangkap dan dimakan bersama-sama. Akibatnya oleh Orang melayu mereka dicap sebagai pencuri, digebuki, dan dihukum.
  • Mengenai kasus Orang Rimba yang suka mabuk-mabukan dan berjudi, ada kemungkinan mereka dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu agar mereka ketagihan dan akhirnya mereka membeli terus kepada penjual.
  • Jurang pemisah social muncul karena kasus babi yang halal dan haram, yang menganggap babi hutan haram dianggap bukan dari kalangan Orang Rimba.
  • Mengenai Orang Rimba Air Panas dan Orang Melayu yang terlibat dalam pembalakan liar dan petugas-petugas hutan ketika mengadakan razia dan mengetahui bahwa pelaku pembalakan adalah Orang Melayu dan Orang Rimba Air Panas, mereka tidak berani menagkap dan hanya merusak tenda-tenda dan menyita kayu-kayu yang sudah ditebang. Mengapa demikian? Karena jika itu diusut tidak terlepas dari kemungkinan-kemungkinan kalau pihak-pihak kehutanan juga terlibat dalam pembalakan hutan.

Komentar

Postingan Populer