September, Terbingkai Kenangan

"Sebab aku menyukaimu bukan karena apa yang lebih darimu. Yang terkata olehku bukan omong kosong, aku menyukaimu karena apa adanya kamu, tanpa melihat lebih dan juga kurangmu. Dalam rindu dan juga harap, aku hanya mampu menjagamu dalam do'a. Ya, inilah aku yang memperkenalkanmu pada Tuhanku melalui do'a. Inilah aku yang memperjuangkanmu lewat do'a. Kau berharga, sebab demi memilikimu aku rela bersujud pada sepasang sayap lima waktu, pada cahaya sepertiga malam."

Ini adalah kisahku dan kisahmu yang dipersatukan di bulan September. Ya, masih lekat diingatan saat pertama kita berkenalan di bulan September 2011. Dan dipertemukan kembali di bulan September 2017 untuk membingkai sebuah cerita yang hanya berujung kenang semata. Bagiku, kau adalah senja.

Malang, September 2017. Membingkai kita dalam sebuah kenangan. Indah sekali kurasa saat itu, meski akhirnya menyesakkan dada. Mengurai tangis di keheningan malam. Batu, menjadi saksi bisu percakapan malam itu.

"Aku mau lamaran", ucapmu purau. Kulihat sekilas, bibirmu menggigil.
Aku tercenung. Termangu seakan tak percaya.
Udara terasa pengap. Suasana semakin menegangkan, canggung tak karuan.
"Mengapa? Mengapa harus kau lontarkan kata itu?", dalam hati berkata.
Betapa pandainya kau mengatur siasat. Kau suguhkan bahagia (semu) padaku sebelum akhirnya kau patahkan harapku. Tubuhku beku, lidahku kelu, dadaku sesak. Seperti ada badai dikelopak mataku yang memaksa air mata untuk jatuh membasahi pipi. Aku tahan sekuat tenaga agar terlihat baik-baik saja dimatamu. Aku cukup berhasil.

"Aku terluka tapi tak berdarah. Aku tak habis pikir mengapa rasanya teramat sakit, melebihi sakitnya luka yang berdarah. Barangkali urusan hati memang seperti ini. Dari rasa sakit, aku belajar sebuah hakikat tentang cinta. Ikhlas melepaskan, itulah hakikat cinta yang sesungguhnya."


*****


Itu cerita lalu, sebelum takdir memaksaku untuk berhenti pada satu titik. Sebelum aku terbangun dari indahnya mimpi dan buaian angan semata. Hingga akhirnya kenyataan menampar dan menyadarkanku satu hal. Sekeras apa pun kita berjuang, sekuat apa pun kita mempertahankan. Kita tidak akan pernah mampu melawan takdir.

Kisah kita telah usai. Aku sudah mampu berdamai dengan hari-hari setelahnya. Kurasakan hujan berhenti di mataku. Semoga hatimu juga mampu berdamai dengan kenyataan. Kenyataan bahwa aku dan kamu tak akan menjadi "kita". Semua berakhir, itu nyata.
Kini, tiba masanya aku akan merajut kisah baru bersama lelaki yang memperjuangkanku.

Terimakasih sudah pernah berjuang. Terimakasih sudah pernah mengupayakanku. Salam, salam perjuangan. 😁

Komentar

Postingan Populer